Tak seperti Soekarno yang memilih 'Ganyang Malaysia', Presiden SBY menolak berperang dengan negeri Jiran itu. Inilah bedanya SBY dengan Soekarno.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur pada 17 September 1963, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Perdana Menteri Malaysia saat itu Tunku Abdul Rahman dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia meledak.
Soekarno murka. Sang Proklamator itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Gerakan "Ganyang Malaysia" sebenarnya disebabkan karena Inggris mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Malaysia. Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia. Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris. Konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia.
Menurut Sejarawan Universitas Indonesia Mohammad Iskandar, pidato Soekarno yang menyerukan rakyat untuk bersatu melawan penghinaan dari Malaysia telah membuat bangga rakyat Indonesia. Pidato Soekarno yang berapi-api itu semakin membuat Indonesia diakui dunia sebagai negara terpandang.
"Di mata dunia ketiga, terutama di Asia-Afrika nama Indonesia saat itu menjadi semakin tinggi," katanya saat berbincang dengan INILAH.COM di Jakarta, Kamis (2/9).
Berbeda dengan Soekarno, Presiden SBY tidak murka ketika ribuan TKI menjadi korban kekerasan Malaysia, ketika ikan-ikan di laut Indonesia dicuri Malaysia, ketika petugas Kementeria Kelautan dan Perikanan Indonesia ditangkap polisi Malaysia di perairan Indonesia. SBY memilih melanjutkan tali persaudaraan.
Dalam pidatonya, ia mengungkapkan alasan tidak mau perang karena Indonesia dan Malaysia mempunyai hubungan sejarah, budaya, dan kekerabatan yang sangat erat, dan mungkin yang paling erat dibanding negara-negara lain, dan sudah terjalin selama ratusan tahun.
SBY juga memaparkan data-data statistik jumlah pertukaran mahasiswa Indonesia dan Malaysia, jumlah wisatawan dan jumlah investasi kedua negara. Ironisnya, data yang disampaikan SBY malah memperlihatkan kekalahan Indonesia atas Malaysia.
"Jiwa Nasionalisme SBY lebih lemah dibandingkan dengan Bung Karno, ada unsur hitungan untung rugi dari apa yang disampaikan SBY," ujar Iskandar.
Menurutnya, perbedaan mendasar dari dua sikap pemimpin negara ini atas masalah yang sama yakni, Pidato "Ganyang Malaysia" Bung Karno mampu membuat rakyat Indonesia melupakan kemiskinannya dan bersatu padu melawan kehinaan. Sedang SBY, malah membuat rakyat Indonesia merasa miskin dan tidak punya wibawa.
Pilihan SBY untuk tidak melakukan konfrontasi dengan Malaysia memang pilihan yang terbaik untuk Indonesia. Tapi seharusnya, Presiden SBY dapat membuat bangsa ini punya pride di mata dunia dan tidak dicap lagi sebagai bangsa babu seperti yang sering disuarakan bangsa Malaysia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar